Cerpen Suara USU Mendukung LGBT? TUNGGU ! Baca Dulu Ini !

Advertisement

Cerpen Suara USU Mendukung LGBT ?




Image from wikipedia.org

Beberapa hari belakangan ramai berita mengenai pemecatan para pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Suara USU, oleh rektor mereka. Hal ini terjadi disebabkan oleh terbitnya cerpen yang berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”, di situs suarausu.co. Cerpen tersebut dikatakan mengandung unsur LGBT di dalamnya, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai USU.


Demo Mahasiswa USU


Pemecatan ini menimbulkan pro dan kontra. Kabarnya ratusan mahasiswa USU melakukan demo menolak penyebaran paham LGBT di kampus. Di sisi lain, Yael Stefani Sinaga yang merupakan penulis cerpen tersebut tetap bersikeras bahwa dia tidak bermaksud mendukung paham ini. Dikutip dari tempo.co, menurutnya tujuan menulis cerita pendek tersebut untuk melawan proses diskriminasi yang terjadi terhadap golongan minoritas. Kelompok LGBT diangkat hanya untuk menjadi contoh saja.

Tentu saja saya penasaran bagaimana isi cerpennya hingga menimbulkan kejadian semacam ini. Setelah membaca, saya justru lebih fokus kepada tindakan si tokoh bernama Kirana dibandingkan isu LGBT yang diperdebatkan orang-orang. Saya lebih tertarik untuk mengulas isi cerita dan membandingkannya dengan cerita-cerita lain.


Opini Cerpen LGBT USU


Dari kacamata seorang awam penggemar cerpen, saya merasa cerpen ini terlalu gamblang dan kurang matang. Klimaks yang menjadikan Kirana, si tokoh utama terpuruk pun bukan semata-mata karena dia seorang lesbian, melainkan karena tindakannya yang berbuat kekacauan. Dua alat yang dipakai yaitu LGBT dan perbedaan agama ditampilkan sekaligus dengan terlalu sederhana. Hal ini menjadikan isu diskriminasi yang ingin diangkat menjadi kabur.


Kasus ini mengingatkan saya kepada dua cerpen. Yang pertama karya Abdullah Khusairi, berjudul “Jejak Ditam” (tadinya saya hanya ingat garis besar ceritanya, dan benar-benar lupa judulnya apa). Sama-sama menyorot faktor kenyamanan sebagai pemicu terjadinya hubungan sesama jenis. Dengan alur yang mengalir dengan pasti namun tidak tergesa-gesa, cerpen ini mampu menampilkan dilema yang dirasakan Ditam, serta kebingungan Badul, suaminya. Pembaca pun akan diantar menuju akhir yang pilu dan turut merasakan kesakitan yang dirasakan Badul.

Lain lagi dengan cerpen “Rembulan Tertegun” yang saya kliping dari majalah lama. Bercerita tentang Wulan, gadis tomboy yang berusaha membuktikan bahwa gosip yang mengatakan dia tidak menyukai laki-laki tidaklah benar. Wulan mengikuti alur, semua berjalan mudah. Perkara asmara anak SMA seringkali tidaklah serumit urusan rumah tangga. Namun cerpen ini dapat membuat pembaca ikut bersimpati saat munculnya plot twist dan terungkapnya kebenaran. Sementara pembaca mengakhiri cerita dengan menarik napas berat, Wulan masih bertanya-tanya apa kesalahannya.

Dilema. Membandingkan dengan kedua cerpen tadi, mungkin aspek dilema inilah yang kurang menonjol dalam “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”. Konflik yang ada pun jadi terasa kering dan kurang menggigit. Kegilaan Kirana rasanya naif dan mustahil terjadi di dunia nyata.

Bagaimanapun, cerpen ini telah berhasil membuat murka seorang rektor. Rasa-rasanya kekhawatiran beliau ada benarnya juga. Barangkali ada yang terpengaruh coba-coba menjadi LGBT setelah melihat banyaknya kampenye-kampanye. Tapi melalui karya fiksi? Ayolah.

Saya tentu tidak akan lupa dengan novel “Ayah 50%, Calon Mertuaku Ternyata Waria” karya Rena Yenita. Dilema seorang anak yang ayahnya kembali menjalani kehidupan sebagai waria karena keadaaan. Memang mengandung unsur LGBT, tapi bukan berarti novel tersebut mengkampanyekan LGBT. Sama saja dengan cerpen terbitan Suara USU ini. Saya membaca novel itu saat masih berseragam putih biru, dan membaca kedua cerpen di atas jauh sebelum lulus SMA. Namun sampai sekarang karya-karya itu sama sekali tidak mengubah persepsi saya terhadap LGBT. Saya tetap menganggapnya sebuah penyimpangan.

Sebuah karya fiksi ada kalanya memberi pengaruh terhadap persepsi pembaca atas suatu hal. Apalagi jika karya tersebut terinspirasi dari hal-hal yang nyata terjadi di masyarakat. Namun yang perlu diingat, fiksi tetaplah fiksi yang dibumbui disana-sini agar menarik. Bukankah mahasiswa adalah makhluk akademis yang dituntut berpikir kritis? Jadi perlu kah kita khawatir ada mahasiswa yang terpengaruh karya fiksi?
Lebih dari itu, masyarakat seringkali berstandar ganda. Sementara saat ini orang-orang sibuk menghujat dan seolah alergi terhadap LGBT, di lain kesempatan mereka sibuk tertawa karena terhibur melihat banci main bola.

Author : Nina Isye Marwati
Advertisement
Advertisement

You might also like

0 Comments